Seorang
perempuan cerdas dan shalihah Ummu
Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui
bahwa keluarnya kaum perempuan dengan mempertontonkan aurat adalah sebuah
gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan dan kehancuran. Dan dengan
hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat
bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab dan rasa
malunya…” (Nasihati li Nisaa’,
hal. 91) Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj
(mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan
dosa besar.” (Nasihati
li Nisaa’, hal. 95)
Mulia
dengan Pakaian Takwa
Allah
ta’ala berfirman, yang artinya;
“Hai
anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling
baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS.
Al-A’raaf: 26)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda,
“Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau
punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama
dengan sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu
untuk tidak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan
kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang
dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau
lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] dan selainnya
dengan sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)
Perintah
Berjilbab
Allah
ta’ala berfirman, yang artinya;
“Hai
Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dengan ayat hijab ini memuat
perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dengan
mendahulukan istri dan anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati
posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, dan juga karena
sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu
(kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain.
Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang
yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa
hijab (jilbab) adalah dikhususkan untuk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian
tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian
melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dalam hatinya
tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32)
Maka
jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan untuk
mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam
kecuali dalam perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala
menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri
Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan
hati kalian dan hati mereka…” (QS.
Al-Ahzab: 53)
Alasan
hukum yang disebutkan Allah dalam menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan
penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki dan
perempuan dari godaan nafsu di dalam firman-Nya, “yang demikian itu lebih
membersihkan hati mereka dan hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat
jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum.
Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa
para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian
tubuhnya, dan sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap-
hanyalah dalam hal menutup wajah dan dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)
Perintah itu Khusus untuk Isteri Nabi ?
Dengan begitu tidak akan ada
seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain
isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa
sallam tidak membutuhkan kebersihan
hati kaum perempuan dan kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…”
“Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami
sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang
sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang
berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tidak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa
sallam saja, meskipun lafal asalnya
memang khusus untuk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi
dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya.
Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu
berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dalam
ayat ini bersifat umum dengan adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah
bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.”
( Nasihati li Nisaa’,
hal. 94-95)
Hakikat
jilbab
Di
dalam kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis
jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh dan juga mencakup kerudung
serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat
Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang
berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung,
selendang dan semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di
luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di
dalam Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan,
-pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’
Al Khurasani dan para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian
yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al
Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir
Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)
Syarat-Syarat
Busana Muslimah
Para
ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah sebagai berikut:
1. Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan
pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS.
An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama
memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, hanya
saja menutupnya adalah sunnah dan bukan sesuatu yang wajib.
2. Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai
perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian
perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain
warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi
sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dengan warna selain hitam dan beliau
tidak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dengan pakaian perhiasan adalah yang
memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak
dan semacamnya. Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat
bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu
merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
3. Pakaian itu harus tebal, tidak boleh tipis supaya tidak
menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang
menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para
perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dalam Shahih
Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian
yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh dan tidak
menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada
hakikatnya mereka itu telanjang
4. Harus longgar, tidak boleh sempit atau ketat karena akan
menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits
Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah
baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada
isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar
isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dalam
riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar
memakai busana ketat segera bertaubat
5. Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda
Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati
sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan
pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi dari sahabat Abu Musa
Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari
rumahnya dengan memakai wangi-wangian dan bersolek adalah tergolong dosa besar,
meskipun dia diizinkan oleh suaminya.
6. Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang
sengaja menyerupai kaum perempuan dan kaum perempuan yang sengaja menyerupai
kaum laki-laki.” (HR. Bukhari dan
lain-lain) Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan dan perempuan yang
mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad sahih)
7. Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan
ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah
kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar.
Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah
pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad)
8. Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud untuk mencari
popularitas. Yang dimaksud dengan libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah:
Segala jenis pakaian yang dipakai untuk mencari ketenaran di hadapan orang-orang,
baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau
sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar
radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan
mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di
dalamnya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah
dengan sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dengan sedikit
perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)
Yang Boleh Melepaskan Jilbab
Allah ta’ala berfirman, yang artinya ;
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari
haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)
Ummu Abdillah
Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud
dengan Al-Qawa’id adalah
perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan
tua yang sudah tidak punya hasrat menikah untuk melepaskan pakaian mereka.”
Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dengan perempuan yang duduk
(Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan
(menopause). Akan tetapi pengertian ini tidak sepenuhnya tepat. Karena
terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada
dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … … … “Sesungguhnya mereka
(perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tidak
lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki
tidak lagi berhasrat untuk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong
Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tidak
diizinkan-Nya kepada selain mereka. Kemudian setelah itu Allah masih memberikan
pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dalam keadaan
mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tidak menampakkan perhiasan yang telah
diperintahkan untuk ditutupi sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Dan
hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tidak
boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab dan sengaja
mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi
mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)
Syaikh Abu Bakar
Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan
nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh dan melahirkan karena usia
mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan
yang sudah tidak menarik untuk dinikmati dan tidak menggugah syahwat.” (Taisir
Karimir Rahman, Makbatah Syamilah)
Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan,
Qatadah dan Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan
yang sudah terhenti haidnya dan tidak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir
Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)
Adapun yang dimaksud dengan pakaian yang boleh dilepas
dalam ayat ini adalah kerudung, jubah, dan semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah
Syamilah)
Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri
menjelaskan: Artinya tidak melepas pakaian tersebut (kerudung dan semacamnya)
adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat
Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Perintah Menahan Pandangan
Allah ta’ala berfirman, yang artinya ;
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Setelah Allah ta’ala memerintahkan kaum lelaki
yang beriman untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluan maka Allah pun
memerintahkan kaum perempuan yang beriman dengan perintah serupa. Allah
berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya,” yaitu menahan pandangan dari melihat aurat dan kaum lelaki
dengan disertai syahwat atau pandangan sejenis yang terlarang.” “Dan hendaknya
mereka menjaga kemaluan mereka.” Yaitu supaya terjaga dari perbuatan berjima’,
menyentuh atau memandangnya dengan cara yang diharamkan. “Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka.” Seperti baju yang indah dan barang perhiasan.
Dan seluruh tubuh adalah termasuk perhiasan…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 566)
Sedangkan yang dimaksud dengan illa maa zhahara minhaa
atau yang biasa nampak darinya adalah: wajah dan telapak tangan. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari di dalam tafsirnya (18/84).
Diantara dalilnya adalah peristiwa yang dialami oleh Fadhl bin Abbas bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hajjatul wada’. Ketika itu ada
seorang perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi. Ibnu Abbas yang meriwayatkan
hadits ini mengatakan: “…maka Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada
perempuan itu, sedangkan dia adalah seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi
pun memegang dagu Fadhl dan memalingkan mukanya ke arah yang lain.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hazm berkata: “Seandainya wajah adalah aurat maka
wajib baginya untuk menutupinya…” Perkataan Ibnu Abbas: sedangkan dia adalah
perempuan yang cantik, juga menunjukkan bahwa wajah perempuan itu terbuka dan
ketika itu Rasul sama sekali tidak memerintahkannya untuk menutupinya. (lihat
Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 384-385)
Situasi yang Membolehkan Memandang
Perempuan
Diantara keadaan yang membolehkan lelaki untuk melihat
perempuan adalah:
1. Ketika melamar (khitbah). Abu Malik berkata: “Para ulama sepakat tentang bolehnya seorang
lelaki memandangi perempuan yang benar-benar ingin dinikahinya.”
2. Melihat untuk keperluan pengobatan. Pada asalnya
hendaknya pasien perempuan dilayani oleh dokter perempuan, namun tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya laki-laki diperbolehkan
mengobati pasien perempuan dan melihat bagian tubuhnya yang sakit apabila itu
memang benar-benar dibutuhkan dan harus memperhatikan batasan syari’at yang
sudah ditentukan, diantara syaratnya adalah: Hendaknya lebih didahulukan dokter
perempuan dalam mengobati pasien perempuan, hendaknya dokter lelaki itu adalah
orang yang amanah dan baik agama serta akhlaqnya, tidak boleh berdua-duaan
tanpa ada mahram atau perempuan lain yang bisa dipercaya, hanya melihat bagian
tubuh yang dibutuhkan tidak boleh melampaui batas dan pasien itu benar-benar
menderita penyakit yang sangat membutuhkan pengobatannya.
3. Hakim dan saksi yang melihat perempuan yang terlibat
dalam kasus persidangan.
4. Melihat untuk keperluan mu’amalah semacam transaksi jual
beli barang. Imam Nawawi berkata: “Boleh bagi lelaki melihat wajah perempuan
lain ketika persaksian dan jual beli. Demikian pula sebaliknya, dia boleh
melihat lelaki itu.” (diringkas dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal.
403-404)
Jangan Bertabarruj
Allah ta’ala berfirman, yang artinya;
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Abu Malik mengatakan: “Yang dimaksud dengan tabarruj adalah:
seorang perempuan menampakkan perhiasan serta kecantikan dirinya dan
bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena hal itu dapat memancing
syahwat kaum lelaki.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)
Ancaman bagi yang Bertabarruj
Diriwayatkan hadits melalui jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah kulihat keduanya:
Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi, dengan alat itu mereka
menyiksa orang-orang. Dan juga para perempuan yang berpakaian namun telanjang
yang berlenggak-lenggok dan mempertontonkan kecantikannya. Kepala mereka
seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium
baunya. Padahal keharuman surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan
sekian.” (Muslim [2128], lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)
Seorang muslimah shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Hadits ini merupakan salah
satu tanda bukti kenabian: berita yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
‘ala aalihi wa sallam itu benar-benar telah terjadi.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)
Beliau juga berkata:
“Sehingga apabila ada seorang perempuan yang
mempertontonkan auratnya (tabarruj) pergi keluar maka dia tercakup oleh
(ancaman di dalam) hadits ini.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220)
Beliau juga mengatakan, “…tabarruj adalah salah satu pintu kerusakan, padahal
Allah ‘azza wa jalla telah menyuruh kaum perempuan untuk mengenakan hijab dan
menutup diri di hadapan kaum lelaki lain.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220)
Berdandanlah untuk Suami Tercinta
Ummu Abdillah
Al-Wadi’iyah berkata: “Berdandan dan
menjaga kebersihan diri merupakan perkara yang disyari’atkan akan tetapi hanya
dengan cara yang mubah. Allah ta’ala berfirman,
“Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang
dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat memberi alasan
yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18)
Demikian pula kisah Ummu
Sulaim ketika ditinggal mati oleh anaknya. Yaitu ketika suaminya Abu
Thalhah pulang maka diapun menyajikan hidangan makan malam untuknya. Maka
suaminya pun menikmati makanan dan minuman yang disajikannya. Kemudian dia
berdandan untuk suaminya dengan dandanan terbaik di luar kebiasaan sebelumnya.”
… … … “…’Aisyah radhiyallahu’anha
pun sibuk untuk merawat diri dan berdandan untuk melayani Rasul shallallahu
‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam sehingga membuat sebagian hadits luput dari
beliau.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 170)
Di dalam hadits Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah ditanya tentang kriteria perempuan (isteri) yang terbaik.
Maka beliau menjawab, “Yaitu perempuan yang menyenangkan suaminya apabila
dipandang, taat kepada suami jika diperintah…” (HR. Nasa’i dan Ahmad, sahih,
lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 456)
Abu Malik berkata: “Ketahuilah saudariku muslimah, disunnahkan
(bagimu) memperhatikan urusan rambut dan menyisirnya, meminyaki dan mencucinya
dan sebagainya agar engkau bisa tampil menyenangkan di hadapan suamimu. Tidak
diragukan lagi bahwa membuat senang suami adalah sesuatu yang dituntut dalam
koridor syari’at…” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 412) Selain itu hendaknya dia
rajin menggosok gigi. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena
kekhawatiranku kalau memberatkan kaum beriman maka pastilah aku sudah
perintahkan mereka mengakhirkan sholat ‘Isyak dan menggosok gigi setiap kali
hendak sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Perempuan juga diperbolehkan
menggunakan wangi-wangian, baik wangi-wangian itu khusus untuk perempuan atau
yang biasa dipakai kaum lelaki, dengan syarat hal itu dilakukan ketika berada
di sisi suaminya saja. Dan apabila dia keluar rumah maka dia harus
menghilangkan semerbak harum wewangian yang dikenakannya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian
(kaum perempuan) mendatangi masjid maka janganlah menyentuh minyak wangi.” (HR.
Muslim dan Nasa’i) (lebih lengkap lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal.411-426)
Selesai disusun,
malam Jum’at, 2 Rabi’u Tsani 1428
Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat
Semoga Allah
mengampuni
Dan memberikan taufiq
kepadanya
Abu Muslih Ari
Wahyudi