Bismilah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

.....

" MADING GEMA NURANI " __ Jl.Raya Kaliabang Tengah No.75 B Bekasi 17125 Phone 021 88871329 __ ** Ikhlas Melayani Mendidik Sepenuh Hati **

AL QURAN

Cari .....

Rabu, 08 Maret 2017

Ku putuskan untuk menjadi seorang blogger

Sumber : 

Di tahun 2008 di saat usia 16 tahun, saya sudah bercita-cita menjadi penulis buku. Penulis yang bukunya banyak dibaca bahkan sampe best seller kalo bisa wkwk #pemaksaan

Akhirnya saya coba ngedraft cerita di sela-sela sekolah saya, tapi baru sampe di lembar kedua tulisannya macet karna lagi ga ada imajinasi. Iya, dulu saya ngedraftnya pake tulisan tangan di kertas haha, karna saya sekolah di tempat yang mengharuskan tinggal di asrama serta dilarang bawa gadget, perhiasan bahkan baju/celana berbahan jeans. 

Misal boleh bawa gadget pun ya percuma, karna saya belum punya laptop apalagi handphone saat itu hehe. Ada sih komputer tapi punya kantor sekolah dan boleh digunakan hanya untuk kursus komputer para pelajar. Karna keadaan yang tidak memungkinkan, jadilah saya ngedraft di kertas wkwkwk

Tapi ya tadi, setelah lembar kedua saya stop karna lagi ga ada ide juga karna lama-lama tangan cape nulisnya. Bulan bahkan tahun demi tahun terus berlalu, saya kira saya telah lupa klo sempet punya cita-cita jadi penulis tapi ternyata cita-cita itu masih bersemayam di hati.

Karna untuk jadi penulis buku harus berpengalaman dalam hal tulis menulis, akhirnya saya memutuskan untuk membuat blog di tahun 2013, hanya sekedar biar tersalurkan apa yang di kepala serta mengasah keterampilan menulis. Tapi itupun blognya ga langsung diisi karna disibukkan dengan aktivitas kuliah yang menyita waktu, wajarlah ya liburnya cuma hari minggu.

Akhirnya di tahun 2014, tulisan perdana di blog pun dipublish dan dishare seadanya di sosial media yang saya punya, itu juga cuma tulisan ga jelas sekedar pengisi waktu kosong, penggunaan bahasa serta penulisannya pun super amburadul - sekarang juga masih sih hehe. Nulisnya juga jarang-jarang, bahkan sempet vakum setahun pasca menikah dari akhir 2015 sampe akhir 2016. Setelah menikah, hamil dan melahirkan, sama sekali lupa kalo punya blog. Waktu itu saya kira dunia ngeblog tuh sempit, sedikit, pokoknya ga hidup lah, bahkan saya aja ga tau kalo ada sebutan blogger bagi pengguna blog wkwk. #bloggermacemapague

Pada suatu hari di bulan november 2016, saya lagi googling gambar dan ga sengaja liat bannernya kumpulan emak-emak blogger, seketika langsung inget kalo saya punya blog. Langsung cek webnya dan ternyata blog saya masuk kriteria syarat dan ketentuannya jika pengen gabung. Ga langsung daftar juga sih karna pengen ngisi dan bebenah blog dulu yang sekian lama sudah tak terjamah.
Di awal bulan desember, barulah daftar dan dibantu makmin approval mak efi untuk pendaftarannya, makasih lho mak *cipok

Setelah jadi member KEB, saya jadi tau bahwa dunia ngeblog tuh luaaas banget, banyak dan hidup. Dugaan saya selama ini salah banget. Ternyata pengguna blog itu disebut blogger dan blogger tuh banyaak banget, tersebar di seluruh penjuru indonesia - bahkan mungkin dunia. Semenjak gabung KEB pun, saya jadi banyak belajar tentang ngeblog yang baik dan benar.

Saya juga jadi tau apa itu BW alias blog walking, apa itu PV alias page view dll. Walau gabung KEB masih seumur jagung, tapi berasa banget sih manfaat dari jadi membernya. Pokoknya banyak banget perubahan yang saya dapat setelah gabung KEB, banyak yang ga bisa diungkapkan dengan kata-kata.



Yang pada intinya adalah buat blog biar ada media untuk menulis dan banyak dibaca orang hehe. Seneng aja gitu kan ya kalo tulisan kita banyak yang baca :D 

Antara Ekspektasi dan Realita

Sumber : 

Pernah punya ekspektasi terhadap sesuatu? bagaimana ketika realitanya tidak sesuai ekspektasi yang kita inginkan? kadang, ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap suatu hal pun tidak bagus ya. Karna ketika realitanya bertolak belakang, lupa sama rasa syukur.

Setiap orang tua pasti punya ekspektasi pada masing-masing anaknya, pengen anaknya begini atau pun begitu. Entah si anak setuju atau tidak. Tapi, ketika kenyataannya tidak sesuai yang diinginkan, anak pun seakan-akan berada pada posisi yang salah dan disalahkan. Padahal si anak tidak melakukan kesalahan.

Sering denger dan sering ngalamin ga sih orang tua yang suka membanding-bandingkan anaknya yang satu dengan anaknya yang lain, bahkan dengan anak orang lain? Padahal kan tiap anak punya porsinya masing-masing, punya fitrahnya tersendiri. Akibat ekspektasi yang tinggi, lupa sama rasa syukur ketika realitanya tidak sesuai. Seakan sudah lupa kalo anak sendiri pun pasti punya kelebihan, punya keistimewaan dan punya sesuatu yang bisa dibanggakan.

Contoh berdasarkan sedikit pengalaman pribadi dan pengalaman teman-teman hasil survey. "Tuh liat si anu, tetap kerja walau punya anak bayi " "tuh liat si ono, gajinya gede" "tuh liat si anu, orangnya serba bisa" "tuh liat si anu, keliatannya cerdas" "tuh liat si ono, orangnya dewasa". Semuanya serba si anu dan si ono. Panas ga sih telinga kalo semuanya serba si anu dan si ono?

Contoh lain, ketika si anak kerjaannya hanya di rumah padahal dikuliahi tinggi-tinggi - langsung dibanding-bandingi sama anak tetangga yang sudah sibuk kerja yang notabene nya tidak sampai kuliah. Padahal, ga selamanya si anak cuma diem di rumah. Bisa jadi di balik diamnya, si anak sedang berusaha agar kelak bisa mensejahterakan dirinya dan keluarganya.

Kerjaan emak saya dulu sebelum saya nikah, suka banding-bandingin sama anak tetangga atau pun sodara. Ya memang, banding-bandinginnya sih ga seekstrem kaya contoh yang di atas, tapi kan tetep aja ya saya punya hati yg mudah patah hati. Tapi untungnya, masa itu kini telah berlalu dan ga pernah terulang lagi setelah saya menikah.

Akibat ekspektasi yang terlampau tinggi yang tidak sesuai dengan realitanya. Si anak pun serba salah dan disalahkan, bahkan ada yang disebut bikin malu keluarga. Padahal, si anak tidak salah. Hanya karna realitanya yang tidak sejalan dengan ekspektasi orang tua yang tinggi.

Jika saja diselipi rasa syukur ketika kenyataannya bertolak belakang, betapa hebatnya si anak. Karna faktanya, pasti banyak yang lebih kurang dari si anak, pasti banyak yang lebih di bawah si anak. Tapi lagi-lagi karna kurangnya rasa syukur, sehingga yang terlihat adalah semua yang melebihi si anak tanpa mengetahui pasti bahwa mereka pun belum tentu seistimewa yang dipikirkan.


Walau kadang bikin telinga panas dan hati mendidih. Ekspektasi orang tua terhadap anaknya memang untuk kebaikan anak-anaknya juga,  hanya saja sedikit salah dalam menyampaikan evaluasinya ketika kenyataannya tidak sesuai. Meski begitu, apalah jadinya si anak tanpa orang tua. Walau kadang tidak sejalan dengan si anak, orang tua tetaplah malaikat tanpa sayap yang senantiasa mengiringi langkah si anak. Karna tanpa mereka, si anak bukanlah siapa-siapa. Betul? Hehe

Selasa, 07 Maret 2017

Kisah tentang pahlawan Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah Yang Mengenakan Hijab Syar'i


Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar’i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir. 

Pengaruhnya dalam dunia pendidikan begitu nyata. Bahkan sekaliber Al-Azhar Mesir pun terinpirasi dari tindakan beliau. Dan, point yang tidak kalah penting, pakaian anggun dengan kerudung yang menutup dada itu sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka.

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, pahlawan wanita milik bangsa Indonesia, dari kota dingin “Serambi Mekkah” Kota Padang Panjang yang dengan Hijab syar’i-nya tak membatasi segala aktivitas.

Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.

Pendidikan untuk perempuan

Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat (Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.Tekadnya, “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?” dilansir dalam Muslimdaily.net.



Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda. Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri.

Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
  
Pada 1926, Rahmah juga membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal. Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktifvtas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika Belanda menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai oleh ummat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.



Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.

Terjun di bidang sosial

Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.

Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.


Terimbas oleh Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA).

Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.


Di era kemerdekaan

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.

Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.

Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.



Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah Pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.

Imam Besar Al-Azhar pun kagum

Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.

Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.

Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.

Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.

Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.

Kembali ke Padang Panjang

Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya.

Pada 1964, ia menjalani operasi karena sakit yang ia derita di RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.


Rabu, 01 Maret 2017

Sebuah Nasehat Untuk Putriku


Wahai putriku, aku masih teringat masa kecilmu, tampak kepolosanmu tanpa dosa. Terlintas dibenakku sebuah makna tanggung jawab. Dirimu pun akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Dan tanpa terasa engkau telah di ambang kedewasaan. Tergugah kesadaranku bahwa tiba-tba dirimu dalam suasana yang amat menghawatirkan. Engkau berada pada zaman kejayayan iblis dan bagundal-bagundalnya dari bangsa manusia yang setiap saat siap hancurkanmu dengan segala yang dimilikinya. Zaman dengan budayanya dan zaman dengan pelaku-pelakunya.

Maafkan aku dan mohonkan aku ampun kepada Allah jika ternyata aku pun kurang serius memperhatikanmu. Aku telah lalai membekalimu hal-hal yang amat kau butuhkan kelak di akhirat. Aku jarang memperkenalkanmu kepada Allah dan Rasulullah SAW. Sekolah yang aku pilihkan untukmu hanya sekolah yang menghantarmu berbangga dengan dunia tanpa aku imbangi dengan pendidikan agama, yang sebenarnya lebih engkau butuhkan. Bahkan, Aku sering sodorkan padamu hal-hal yang membahayakanmu.

Aku telah memasukkan pesan dan bisikan musuh-musuhmu ke rumahmu. Aku telah hadirkan dalam kehidupanmu potret moral yang busuk melalui layar televisi yang kau nikmati setiap saat. Aku pun telah membakalimu dengan handphone kontrol iblis yang senantiasa menyertaimu yang sebenarnya justru menyulitkanku untuk mengawasimu. Bahkan aku pun sering tidak peduli dengan perkembangan akhlakmu setiap saat. Aku hanya memikirkan kebutuhan lahirmu, makan, minum, baju dan tempat tinggal.

Sementara kebutuhan hati dan jiwamu yang menghantarmu ke dalam kebahagiaan dalam keabadian di akhirat tidak pernah aku pikirkan. Bahkan kadang baju yang kubelikan pun baju yang mengundang nafsu pengikut iblis. Aku sering menjadi orang dungu yang hanya bisa bengong melihat dirimu berdandan untuk membangkitkan hawa nafsu budak iblis. Kecemburuanku kadang hilang dan menjadikan diriku kurang berarti bagimu.

Wahai putriku bantulah aku untuk mengembalikan kemuliaan pada dirimu. Maafkan aku jika saat ini aku berbeda dengan hari yang lalu. Kemarin aku lemah dan dungu yang amat membahayakanmu. Dan hari ini aku telah menyadari bahwa aku harus meninggalkan kedunguan dan kelemahanku demi kemulyaan dan kejayaanmu kelak diakhirat.

Aku tidak ingin disebut tolol dan dungu dengan pendidikanmu yang tidak membawa keselamatanmu di akhirat. Aku tidak mau di bilang bodoh melihat pakainnmu yang separoh hati kau kenakan, sebagian badanmu tertutup dan sebagian lagi terbuka. Aku tidak ingin kau dihinakan oleh mata jalang hamba hawa nafsu. Maka perhatiakan bahwa dirimu harus kau mulyakan. Berdandanlah dengan dandanan yang berwibawa dihadapan perampok-peramopok kehormatan. Jadikanlah mereka takut mendekatimu dan jera jika mereka berusaha menjailimu. Jangan kau rendahkan dirimu dengan kau umbar tubuhmu disana sini. Sebab jika dirimu tidak bisa menghargai dirimu sendiri maka orang lainpun tidak menghargaimu.

Kemulyaanmu wahai putriku pada kepribadianmu. Jika engkau berwibawa dan mulya maka lelaki jalang hamba hawa nafsupun akan enggan mendekatimu. Senyummu amat mahal jangan kau berikan kepada semua orang sebab tidak semua orang tahu nilai senyummu. Suaramu pun adalah nilai dirimu. Jangan bersuara yang mengundang nafsu di hadapan bagundal iblis sehingga mereka meremehkanmu. Telah banyak gadis-gadis seumurmu telah direndahkan oleh mereka. Lihatlah di sekitarmu, anak gadis sebaya denganmu telah tenggelam dalam kenistaan. Harga dirinya telah digadaikan dengan karir dan ketenaran..
Putriku, Sungguh itulah bahasa cinta dan kasihku yang engkau butuhkan saat ini.Aku sadar bahwa engkau saat ini sudah tidak butuh orang tua yang hanya bisa memanjamu. Akan tetapi saat ini engkau butuh orang tua yang mendidikmu dan menuntunmu kepada kemulyaan. Jangan heran jika aku kadang cerewet wahai putriku dan songsonglah masa depanmu dengan kemulyaan.  Wallahu alam bishshowab. (Buya Yahya  / esqiel / muslimahzone)




Mengobral Aurat Merusak Masyarakat


Seorang perempuan cerdas dan shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dengan mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan dan kehancuran. Dan dengan hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab dan rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91) Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)

Mulia dengan Pakaian Takwa

Allah ta’ala berfirman, yang artinya;
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dengan sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu untuk tidak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman, yang artinya;
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan untuk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dalam hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32)

Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan untuk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dalam perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53)

Alasan hukum yang disebutkan Allah dalam menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki dan perempuan dari godaan nafsu di dalam firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka dan hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum.

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, dan sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dalam hal menutup wajah dan dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah itu Khusus untuk Isteri Nabi ?

Dengan begitu tidak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tidak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan dan kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…”

“Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tidak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus untuk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya.

Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dalam ayat ini bersifat umum dengan adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” ( Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)

Hakikat jilbab

Di dalam kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh dan juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang dan semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dalam Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani dan para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:

1.   Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah dan bukan sesuatu yang wajib.

2.    Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dengan warna selain hitam dan beliau tidak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dengan pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak dan semacamnya. Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

­­­
3.    Pakaian itu harus tebal, tidak boleh tipis supaya tidak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dalam Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh dan tidak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang

4.    Harus longgar, tidak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dalam riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat


5.    Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dengan memakai wangi-wangian dan bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.

6.  Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan dan kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari dan lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad sahih)

7.  Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad)

8.    Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud untuk mencari popularitas. Yang dimaksud dengan libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai untuk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dengan sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

Yang Boleh Melepaskan Jilbab

Allah ta’ala berfirman, yang artinya ;
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dengan Al-Qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah tidak punya hasrat menikah untuk melepaskan pakaian mereka.”

Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dengan perempuan yang duduk (Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan tetapi pengertian ini tidak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … … … “Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tidak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki tidak lagi berhasrat untuk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tidak diizinkan-Nya kepada selain mereka. Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dalam keadaan mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tidak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan untuk ditutupi sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tidak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab dan sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)

Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh dan melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tidak menarik untuk dinikmati dan tidak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah Syamilah)

Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan, Qatadah dan Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan yang sudah terhenti haidnya dan tidak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Adapun yang dimaksud dengan pakaian yang boleh dilepas dalam ayat ini adalah kerudung, jubah, dan semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: Artinya tidak melepas pakaian tersebut (kerudung dan semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)

Perintah Menahan Pandangan

Allah ta’ala berfirman, yang artinya ;
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Setelah Allah ta’ala memerintahkan kaum lelaki yang beriman untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluan maka Allah pun memerintahkan kaum perempuan yang beriman dengan perintah serupa. Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya,” yaitu menahan pandangan dari melihat aurat dan kaum lelaki dengan disertai syahwat atau pandangan sejenis yang terlarang.” “Dan hendaknya mereka menjaga kemaluan mereka.” Yaitu supaya terjaga dari perbuatan berjima’, menyentuh atau memandangnya dengan cara yang diharamkan. “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka.” Seperti baju yang indah dan barang perhiasan. Dan seluruh tubuh adalah termasuk perhiasan…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 566)

Sedangkan yang dimaksud dengan illa maa zhahara minhaa atau yang biasa nampak darinya adalah: wajah dan telapak tangan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari di dalam tafsirnya (18/84). Diantara dalilnya adalah peristiwa yang dialami oleh Fadhl bin Abbas bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hajjatul wada’. Ketika itu ada seorang perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi. Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits ini mengatakan: “…maka Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu, sedangkan dia adalah seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan memalingkan mukanya ke arah yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hazm berkata: “Seandainya wajah adalah aurat maka wajib baginya untuk menutupinya…” Perkataan Ibnu Abbas: sedangkan dia adalah perempuan yang cantik, juga menunjukkan bahwa wajah perempuan itu terbuka dan ketika itu Rasul sama sekali tidak memerintahkannya untuk menutupinya. (lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 384-385)

Situasi yang Membolehkan Memandang Perempuan

Diantara keadaan yang membolehkan lelaki untuk melihat perempuan adalah:

1.   Ketika melamar (khitbah). Abu Malik berkata: “Para ulama sepakat tentang bolehnya seorang lelaki memandangi perempuan yang benar-benar ingin dinikahinya.”
2. Melihat untuk keperluan pengobatan. Pada asalnya hendaknya pasien perempuan dilayani oleh dokter perempuan, namun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya laki-laki diperbolehkan mengobati pasien perempuan dan melihat bagian tubuhnya yang sakit apabila itu memang benar-benar dibutuhkan dan harus memperhatikan batasan syari’at yang sudah ditentukan, diantara syaratnya adalah: Hendaknya lebih didahulukan dokter perempuan dalam mengobati pasien perempuan, hendaknya dokter lelaki itu adalah orang yang amanah dan baik agama serta akhlaqnya, tidak boleh berdua-duaan tanpa ada mahram atau perempuan lain yang bisa dipercaya, hanya melihat bagian tubuh yang dibutuhkan tidak boleh melampaui batas dan pasien itu benar-benar menderita penyakit yang sangat membutuhkan pengobatannya.
3. Hakim dan saksi yang melihat perempuan yang terlibat dalam kasus persidangan.
4.   Melihat untuk keperluan mu’amalah semacam transaksi jual beli barang. Imam Nawawi berkata: “Boleh bagi lelaki melihat wajah perempuan lain ketika persaksian dan jual beli. Demikian pula sebaliknya, dia boleh melihat lelaki itu.” (diringkas dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 403-404)

Jangan Bertabarruj

Allah ta’ala berfirman, yang artinya;
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Abu Malik mengatakan: “Yang dimaksud dengan tabarruj adalah: seorang perempuan menampakkan perhiasan serta kecantikan dirinya dan bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena hal itu dapat memancing syahwat kaum lelaki.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Ancaman bagi yang Bertabarruj

Diriwayatkan hadits melalui jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah kulihat keduanya: Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi, dengan alat itu mereka menyiksa orang-orang. Dan juga para perempuan yang berpakaian namun telanjang yang berlenggak-lenggok dan mempertontonkan kecantikannya. Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal keharuman surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Muslim [2128], lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Seorang muslimah shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu tanda bukti kenabian: berita yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam itu benar-benar telah terjadi.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95) Beliau juga berkata:

“Sehingga apabila ada seorang perempuan yang mempertontonkan auratnya (tabarruj) pergi keluar maka dia tercakup oleh (ancaman di dalam) hadits ini.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220) Beliau juga mengatakan, “…tabarruj adalah salah satu pintu kerusakan, padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyuruh kaum perempuan untuk mengenakan hijab dan menutup diri di hadapan kaum lelaki lain.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220)

Berdandanlah untuk Suami Tercinta

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Berdandan dan menjaga kebersihan diri merupakan perkara yang disyari’atkan akan tetapi hanya dengan cara yang mubah. Allah ta’ala berfirman,

“Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18)

Demikian pula kisah Ummu Sulaim ketika ditinggal mati oleh anaknya. Yaitu ketika suaminya Abu Thalhah pulang maka diapun menyajikan hidangan makan malam untuknya. Maka suaminya pun menikmati makanan dan minuman yang disajikannya. Kemudian dia berdandan untuk suaminya dengan dandanan terbaik di luar kebiasaan sebelumnya.” … … … “…’Aisyah radhiyallahu’anha pun sibuk untuk merawat diri dan berdandan untuk melayani Rasul shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam sehingga membuat sebagian hadits luput dari beliau.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 170)

Di dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kriteria perempuan (isteri) yang terbaik. Maka beliau menjawab, “Yaitu perempuan yang menyenangkan suaminya apabila dipandang, taat kepada suami jika diperintah…” (HR. Nasa’i dan Ahmad, sahih, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 456)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah saudariku muslimah, disunnahkan (bagimu) memperhatikan urusan rambut dan menyisirnya, meminyaki dan mencucinya dan sebagainya agar engkau bisa tampil menyenangkan di hadapan suamimu. Tidak diragukan lagi bahwa membuat senang suami adalah sesuatu yang dituntut dalam koridor syari’at…” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 412) Selain itu hendaknya dia rajin menggosok gigi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena kekhawatiranku kalau memberatkan kaum beriman maka pastilah aku sudah perintahkan mereka mengakhirkan sholat ‘Isyak dan menggosok gigi setiap kali hendak sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Perempuan juga diperbolehkan menggunakan wangi-wangian, baik wangi-wangian itu khusus untuk perempuan atau yang biasa dipakai kaum lelaki, dengan syarat hal itu dilakukan ketika berada di sisi suaminya saja. Dan apabila dia keluar rumah maka dia harus menghilangkan semerbak harum wewangian yang dikenakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian (kaum perempuan) mendatangi masjid maka janganlah menyentuh minyak wangi.” (HR. Muslim dan Nasa’i) (lebih lengkap lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal.411-426)

Selesai disusun, malam Jum’at, 2 Rabi’u Tsani 1428
Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat

Semoga Allah mengampuni
Dan memberikan taufiq kepadanya

Abu Muslih Ari Wahyudi

FB

Tweet GN

Live Trafic Feed ..

Flag Counter

Nasehat

Kita Mampu

CARA BUAT BLOG

Perjuangan anak agar bisa sekolah

Sedih sampai nagis tengok ni..

Dikirim oleh Puteri Tiara Elisha pada 15 Januari 2015

Perjuangan

Perlombaan ini Seru Banget Nih!

Dikirim oleh Videofb pada 4 April 2016