Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar’i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir.
Pengaruhnya dalam dunia pendidikan begitu nyata. Bahkan
sekaliber Al-Azhar Mesir pun terinpirasi dari tindakan beliau. Dan, point yang
tidak kalah penting, pakaian anggun dengan kerudung yang menutup dada itu sudah
lama ada sebelum Indonesia merdeka.
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, pahlawan
wanita milik bangsa Indonesia, dari kota dingin “Serambi Mekkah” Kota Padang
Panjang yang dengan Hijab syar’i-nya tak membatasi segala aktivitas.
Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru,
pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis
kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia.
Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid
laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas
dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati
banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan
secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan
enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul
Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan
pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Pendidikan untuk perempuan
Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat
(Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus
wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh
pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari.Tekadnya, “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum
saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak
pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan
tidak bisa?” dilansir dalam Muslimdaily.net.
Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan
agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga
secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda.
Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing
beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri.
Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia
pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia
terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid
perempuannya.
Pada 1926, Rahmah juga membuka program pemberantasan buta
huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan
dikenal dengan nama Sekolah Menyesal. Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari
aktifvtas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang
dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika
Belanda menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga
pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah
menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai
oleh ummat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah.
Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah
dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan
perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS).
Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam
kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup
aurat ke dalam kebudayaan Indonesia. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres
Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama
perempuan terkemuka di Sumatera.
Terjun di bidang sosial
Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942
membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup
penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai
kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi
perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi
penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk
menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk
yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa
seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan
pakaian untuk penduduk.
Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang
pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang.
Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota
Sumatera Barat berhasil ditutup.
Terimbas oleh Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang terjun ke
politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh
penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan
Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi
Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang
terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA).
Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah
membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari
serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua
keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan
1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri
sebagai tempat perawatan korban kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan
dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo
Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota
peninjau.
Di era kemerdekaan
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari
Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah
Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang
pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa
bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.
Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945,
Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang
anggota.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit
pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah
memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan
mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian
beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan
bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran
Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti
dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua,
Belanda menangkap sejumlah Pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang.
Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia
ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang
Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah
pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di
Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5
bulan berikutnya.
Imam Besar Al-Azhar pun kagum
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri
undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang
Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir
1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia
terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui
Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.
Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman
Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk
melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan
kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat
itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai
menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar
Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan
“Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar
memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.
Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar
untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas
Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka
kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang
baru seumur jagung.
Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria,
Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.
Kembali ke Padang Panjang
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur
Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa
tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang
Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin
perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai
anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah
akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut
bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang
mendukungnya.
Pada 1964, ia menjalani operasi karena sakit yang ia derita di RS
Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan
kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar