Sahabat Ummi, jika kita bicara tentang anak, nama ibu pasti dibawa-bawa. Apalagi kalau anak sudah membuat ulah, memecahkan kaca jendela tetangga, cabut dari sekolah, nongkrong sampai larut malam di luar rumah, dan lain-lain. Saat itu terjadi kita akan berteriak, “Ibunya mana, nih? Bisa enggak sih, mengurus anak?”
Hal ini karena dogma yang berkembang di masyarakat, “ibu madrasah pertama seorang anak”. Ini benar, tidak diragukan lagi. Pertanyaannya, peran ayah bagaimana? Padahal, layaknya madrasah, proses belajar tidak akan berjalan sukses kalau tidak ada kepala sekolahnya. Itulah kenapa ungkapan di atas mestinya berbunyi “Ibu madrasah pertama seorang anak, dan ayah adalah kepala sekolahnya”. Nah, ini lebih adil. Masing-masing punya peran. Ayah jadi tahu, sebagai kepala sekolah di madrasah—yang namanya ibu, ia yang akan menentukan kesuksesan anaknya di masa depan.
Kondisi saat ini, banyak “madrasah” yang tak punya “kepala sekolah”. Sebab, ayah yang seharusnya menjalankan tugas ini tak paham perannya. Jadilah ibu mengurus anak seorang diri tanpa orientasi, arahan, dan bimbingan dari “kepala sekolah”. Sehingga, mengasuh anak sekadar menghabiskan waktu, seraya berkeluh, “Mengasuh anak kok, susah banget, ya?” Kalau dihadapkan pada keluhan ini, biasanya saya menjawab, “Iya, mengasuh anak memang susah sebab hadiahnya adalah surga. Kalau mengasuh anak itu mudah, maka hadiahnya cumavoucher pulsa.”
Jadi, sudah semestinya ayah menjalankan fungsinya di dalam rumah. Minimal ada 4 tugas “kepala sekolah” yang menjadi tanggung jawab ayah demi terwujudnya kualitas anak yang unggul, yaitu:
Membuat suasana aman dan nyaman sekolah
Menentukan visi dan misi
Melakukan evaluasi
Menegakkan aturan
Keempat hal inilah yang sejatinya harus ditunaikan oleh ayah sebagai bentuk kepedulian terhadap anak. Anak sebagai siswa didik merasakan kehadiran ayah sang kepala sekolah yang mengurus pertumbuhan mereka, baik secara fisik, psikis maupun spiritual. Begitu juga ibu, memiliki pemandu yang mengarahkan tercapainya tujuan pengasuhan. Ibu tak merasa dibiarkan seorang diri mengurus anak. Itulah kenapa, jika ayah hanya mengurusi masalah fisik rumah semisal genteng bocor, TV rusak, lampu mati, sejatinya bukanlah ayah kepala sekolah. Ia lebih tepat disebut ayah marbot atau penjaga sekolah!
Maka, wahai para Ayah, mari tingkatkan derajat diri menjadi ayah kepala sekolah.
Kita urai tugas pertama ayah sebagai kepala sekolah, yaitu membuat suasana sekolah aman dan nyaman. Kriteria utama sekolah yang baik adalah aman dan nyaman. Sekolah yang siswanya betah berlama-lama di dalamnya, fokus dalam belajar. Tidak suka nongkrong di luar, apalagi mencoba untuk kabur.
Dalam konteks pengasuhan, sekolah pertama bagi anak adalah ibu. Peran ibu sebagai sekolah tak lain memberikan rasa nyaman bagi anak agar betah berlama-lama di dekatnya. Menjadi tempat untuk curhat di saat anak resah dan mengadukan segala gundah. Utamanya, memberikan nilai pengajaran bagi anak agar tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Sulit bagi ibu membuat anak betah di sisinya bila ia tidak mendapatkan dukungan, mudah stres, dan hanyut dalam perasaannya sendiri. Ibu yang tak nyaman biasanya gampang marah. Emosinya meledak-ledak seperti petasan tahun baru. Alhasil, anak lebih betah nongkrong berlama-lama di mal, warnet, atau tempat hiburan lainnya. Malas untuk pulang bertemu ibunya, sebab terbayang akan bertemu dengan sosok yang seram dan angker. Inilah gejala munculnya mother distrust di kalangan anak-anak saat ini akibat ibu yang dirasa tak lagi memberikan kenyamanan bagi mereka.
Semua itu terjadi disebabkan hilangnya peran ayah sebagai kepala sekolah. Ayahlah yang seharusnya berpikir untuk membuat suasana “sekolah” aman dan nyaman, membuat anak betah bersama ibunya. Dalam hal ini, tugas ayah adalah memperhatikan kebutuhan batin sang ibu. Hakikatnya, ibu akan bisa memberikan rasa nyaman kalau kebutuhan batinnya terpenuhi. Ada ruang baginya untuk bicara mengeluarkan isi hati dan pikirannya.
Menurut sebuah penelitian, perempuan yang sehat jiwanya minimal mengeluarkan 7.000 kata per hari. Ibu yang jarang diajak bicara oleh ayah, bahasa tubuhnya tidak mengenakkan. Menyusui anak sambil resah. Tak mampu mendengarkan curhat anak. Tak sabar saat bicara sebab emosi yang tak terkontrol. Akibatnya, anak hanya dapat “sampah emosi” dari ibunya. Anak pun akhirnya lebih memilih menghindar dan menjauh dari ibunya. Inilah petaka pertama dalam pengasuhan, ketika ibu tak lagi dirindukan oleh buah hatinya.
Maka, tugas wajib ayah sebagai kepala sekolah adalah memberikan waktu dan ruang setiap hari bagi ibu untuk bicara sebagai upaya menyehatkan jiwanya. Dengarkanlah keluh kesahnya. Kalaupun ibu mau marah-marah dan menangis, silakan ke ayah saja. Ibarat kata, biarkan ibu membuang sampah emosinya kepada ayah agar ibu bisa memberi bunga cinta untuk anaknya. Sebab, ibu yang sehat jiwanya akan dapat menjalankan tugasnya sebagai sekolah terbaik bagi anak.
Oleh Bendri Jasyurrahman
(Pendamping Keayahan, Direktur Kokoh Keluarga Indonesia)
source : http://www.ummi-online.com/ibu-memang-madrasah-pertama-sang-buah-hati-tapi-ayahlah-kepala-sekolahnya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar